Monday, April 9, 2007

you are a winner or a looser ?

hidup ini adalah perjuangan...nggak ada yang pungkiri tentang hal ini. Kalaupun ada, berarti dia adalah seorang pemalas, seorang yang gagal, seorang yang kalah dalam hidup, mereka adalah seorang yang fatalis dan tak mau atau bahkan tak mampu untuk melangkah lebih jauh...

Lalu siapakah yang pantas mendapat gelar sebagai pemenang...? Apakah seorang pelari yang pendapatkan medali emas? Atau pejabat yang naik pangkat? Ternyata mereka bukanlah pemenang sejati, benarkah? simaklah tulisan di bawah ini yang saya kutip dari
swa.co.id.

Oleh : Paulus Bambang W.S.
Akhir tahun sering dipenuhi dengan perasaan waswas. Penilaian kinerja
segera dilaksanakan. Bagai palu godam, hasilnya hendak meluluhlantakkan
si pecundang. Jangankan bonus yang cukup untuk tamasya ke mancanegara,
untuk ongkos fiskalnya pun kadang tak mencukupi. Sebaliknya, bagi
pemenang, selain bonus besar, juga jaminan kenaikan gaji yang lumayan di tahun depan. Ini adalah siklus yang terus terjadi tahun demi tahun. Tak ada hal yang baru. Namun kenyataannya, gejolaknya masih dirasakan
dramatis bagi banyak orang.

Si pecundang akan memainkan trik tertentu untuk memperoleh penilaian
yang lebih besar dari yang seharusnya ia terima. Beribu alasan dan
excuse terus dilontarkan. Industri sedang meradang, kompetisi
bertambah berat, pesaing meluncurkan produk baru, prinsipal tidak
mendukung, persaingan yang tak wajar, pesaing banting harga ? itu adalah
alasan basi yang terus dikumandangkan. Si pecundang selalu akan menunjuk
hidung orang lain sebagai biang keladi kekalahan. Lagu kata "andaikan"
terus dimainkan. Andaikan bagian produksi meluncurkan produknya tahun
ini; andaikan bagian keuangan menyetujui "down payment split"; andaikan
bagian support melakukan factory campaign. Tunjuk hidung, bukan
tunjuk dada. Kesalahan bukan ditudingkan pada dirinya sendiri.


Kalau pun 8 dari 10 target tidak tercapai, si pecundang masih bisa
menunjukkan bahwa dua target itu sebenarnya sangat besar implikasinya
dibandingkan dengan yang 8. Pecundang memang tak pernah lelah
mengibarkan kesuksesannya, walaupun bagai setitik nila di antara
sebelangga susu. Ia berusaha menjadi pemenang bagi dirinya sendiri.
Sebuah penyangkalan fakta yang teramat naif.

Lain halnya dengan si pemenang, apalagi yang mendapat kategori istimewa,
biasanya tak menduga mendapat predikat itu. Ia pikir biasa-biasa saja.
Ia hanya berpikir yang terbaik saat ini. Kalau sang bos melihat ia
memiliki prestasi prima, baginya itu sebuah pecutan untuk lari lebih
cepat lagi. Penilaian akhir tahun adalah sebuah jeda bagi si pemenang
untuk mengambil ancang-ancang etape berikutnya.

Piala akhir tahun yang ia peroleh, bonus dan kenaikan gaji atau promosi,
selalu beriringan dengan prestasi seluruh anggota kelompoknya. Pemenang
selalu dikelilingi oleh para juara. Ia tidak pemain tunggal yang berdiri
sendiri di puncak. Melainkan, ia adalah pemain kelompok yang berada di
belakang sebuah kelompok juara yang saling mendukung. Pemenang tidak
pernah merasa kesepian seperti pecundang. Pemenang selalu berbagi tawa
dengan kelompoknya. Pemenang memiliki pendukung pemenang juga, yang pada
saatnya bakal menggantikannya sebagai pemenang baru.

Pemenang selalu merujuk pada rekan sekerja untuk menunjukkan pemenang
sebenarnya. Tidak menunjuk pada dirinya sendiri. Atau meminjam teori
kodok yang perlu menekan ke bawah supaya ia dapat terangkat tinggi.
Hanya soal waktu, pemenang macam beginilah yang dapat bertahan.
Sayangnya, banyak yang mengabaikan hukum alam ini.

Saya teringat pada sebuah cerita yang pernah saya kliping 8 tahun silam,
ditulis oleh sahabat saya, Debora. Ia berujar tentang pemenang yang
menang justru dalam sebuah kekalahan. Bukan menang tanpo ngasorake,
melainkan menang tanpa sebuah kemenangan. Pemenang yang sejati bukan
ditentukan oleh sebuah piala, atau rekor, atau medali fisik, melainkan
ditentukan pula oleh sikapnya sebagai pemenang tatkala medali dan piala
itu justru ia berikan kepada orang lain. Ia bisa dan mampu meraihnya,
tetapi ia sadar bahwa medali ini sebaiknya diserahkan kepada orang lain
agar mereka menikmati kemenangan. Ia sendiri larut dalam kenikmatan
kemenangan orang lain.

Begini ceritanya. Kim Peek, seorang anak yang menderita kerusakan otak,
ikut dalam lomba lari 50 meter di olimpiade khusus kaum cacat tahun
1968. Sebagai atlet yang mewakili negaranya, Kim berharap membawa pulang
medali karena ia memiliki rekor lari dengan kursi roda yang fantastis.
Ia menanti hari pertandingan dengan antusias persis seperti atlet normal
lainnya.

Saat pertandingan tiba, Kim dan kedua peserta lain memasuki arena
pertandingan yang kala itu sudah di babak final. Kim bergerak cepat
mendahului kedua lawannya ketika pistol berbunyi tanda perlombaan
dimulai. Dia berada 20 meter di depan dan 10 meter dari garis akhir pada
saat ia mendengar bunyi benda yang tertubruk di belakangnya. Ia
memperlambat laju kursi rodanya. Ia melihat ke belakang.

Ia melihat seorang lawannya, anak perempuan, terbentur dinding. Kursi
rodanya berbalik arah dan ia kesulitan untuk mengembalikan ke arah
semula. Kim melihat, peserta lainnya ? anak laki-laki ? berusaha
mendorong kursi roda si anak perempuan untuk kembali pada arah yang tepat.

Kim berhenti. Lalu ia pun berbalik dan menolong si anak perempuan
sehingga kembali seperti semula. Bukan hanya itu. Dengan segenap
kekuatannya, ia mendorong kursi roda si anak perempuan sampai ke garis
akhir. Anak laki-laki yang sempat berbalik arah tadi memenangi
perlombaan itu; sementara si anak perempuan meraih juara kedua;
sedangkan Kim kalah.

Benarkah Kim kalah? Para penonton berdiri memberi tepuk tangan meriah
untuk Kim. Mereka tidak berpikir bahwa Kim kalah. Kim tersenyum, ia
merangkul si anak perempuan dan si anak laki-laki yang menjadi lawannya.
Kim memang kehilangan medali emas, tetapi ia puas.

Kim adalah pemenang sejati. Sejatinya ia tidak merasa kehilangan medali.
Ia tidak merasa kalah. Ia adalah sosok pemenang yang dibutuhkan bangsa
ini untuk maju. Memberi jalan agar yang lain berada di karpet merah
kemenangan. Ia tersenyum bangga, bahwa ia telah melahirkan jawara baru.
Ia adalah jawara sejati. Kapan kita bisa seperti Kim?

Nah...sahabat, sudahkah kita menjadi juara sejati? ^_______^

No comments: