Wednesday, March 28, 2007

mereka terpaksa menjual diri

Suatu saat, saya menonton salah satu tayangan TV swasta. Ada satu acara yang membuat saya sedikit terhentak. Nama acara itu, 7 hari menuju taubat. Episode kali ini, yang menjadi sasaran adalah seorang Pekerja Seks Komersil di sudut kota Jakarta. Dengan menyusuri gang-gang sempit, jalanan yang becek, rumah yang kumuh...akhirnya sampailah team di satu kamar kecil dan sederhana itu...

Sebut saja namanya Sri...saat ditemui, dia sedang terlelap setelah semalaman harus "bekerja" di suatu tempat yang barangkali dia sendiri tidak tau kemana ia akan dibawa. Setelah beberapa kali dibangunkan oleh ibunya, barulah ia terbangun dan sedikit kaget karena sudah ditodong oleh kameramen dan seorang artis yang menjadi pemandu acara tsb. Seketika itu juga, sang pemandu acara memperkenalkan diri dan menanyainya dengan beberapa pertanyaan. Lengkapnya saya sedikit lupa, tapi mudah-mudahan apa yang saya tulis sudah pada intinya..."Mbak selama ini kerja setiap malem..?"
Dengan lugunya Sri mengangguk "iya.."
"Apa mbak ikhlas dengan bekerja semacam itu setiap malam..?"
Saat itu juga Sri tak mampu menahan air mata yang tulus menetes di dua sudut matanya yang terlihat lelah...
"Sri mau nggak, bertaubat dan tidak mngulanginya lagi? Sri ikut dengan kami dan di sana nanti Sri akan dibimbing agar bisa kembali ke jalanNya..."
"Nggak mau...Sri takut..."
"takut kenapa..? justru di sana Sri akan banyak belajar..."
"Takut mati..." sang gadis menjawab dengan lugu sambil mengisak air mata yang tlah membasahi pipinya.
"Justeru itu...ntar gimana coba? kalo Sri mati tapi belum banyak pahala yang Sri dapetin di dunia ini...?"

Singkat cerita, setelah Ibunya ikut mendrong dia agar ikut, akhirnya ia membulatkan tekad untuk ikut bersama team...7 hari menuju taubat.
Saya yakin, ketika ngomongin PSK, kita semua akan merasa jijik, mereka adalah para pendosa, penyebar penyakit HIV/AIDS, dan cercaan hina lainnya untuk mereka. Memang, itulah kata-kata yang cocok untuk mereka. Akan tetapi, dari sekian juta PSK...barangkali 40 atau bahkan 60%nya adalah mereka yang terpaksa melakukan itu karena himpitan ekonomi. Demi selembar uang kertas, mereka dengan terpaksa harus menjual kehormatannya kepada manusia-manusia berhati iblis. Saya berpendapat, ketika membicarakan mereka yang 60% ini, cercaaan yang tadi kita sebutkan akan lebih cocok dinisbatkan kepada mereka yang telah membuat kondisi ekonomi kita semakin sulit, mencari pekerjaan menjadi tanggungjawab individu, pendidikan menjadi kompetensi bebas, yang kuat dan kaya akan menang, tapi mereka yang lemah walau memiliki kecerdasan lebih, akan tersingkir....itu hanya akan terjadi di dunia Kapitalis, dimana hedonisme, materialisme tumbuh subur...
Lalu...akankah tetesan air mata Sri akan terus berlanjut?. Kita tidak bisa memastikan, ketika Sri keluar dari karantina "7 Hari menuju taubat" ia akan benar-benar istiqomah dengan taubatnya. Jangan-jangan, beberapa bulan, minggu, atau bahkan beberapa hari, karena sulit mencari pekerjaan, ia akan kembali melayani manusia-manusia iblis yang dengan bebas berkeliaran di sekitar kita. Wallahualam...
Segala jawaban...hanya ada padaNya. Barangkali, sudah saatnya kita kembali pada aturanNya, agar kita tidak lagi membiarkan tetesan air mata Sri terus mengalir...

Monday, March 19, 2007

diambang kehancuran perekonomian Indonesia


Satu-satunya negeri Muslim terbesar di dunia hanyalah Indonesia. Negeri yang dikaruniai kekayaan alam yang melimpah ruah ini memaksa dunia untuk menjulukinya sebagai The Super Biodiversity State. Hutan Indonesia memiliki 12% dari jumlah spesies binatang menyusui/mamalia, pemilik 16% spesies binatang reptil dan ampibi, 1.519 spesies burung dan 25% dari spesies ikan dunia. Sebagian diantaranya adalah endemik atau hanya dapat ditemui di daerah tersebut (www.walhi.or.id, Hutan Indonesia Menjelang Kepunahan, 14 April 2004). Menurut buku World in Figure 2003, Penerbit The Economist,USA data kekayaan Indonesia adalah: Penghasil Biji-bijian terbesar no 6; Penghasil Teh terbesar no 6; Penghasil Kopi no 4; Penghasil Cokelat No 3; Penghasil Minyak Sawit (CPO) No 2; Penghasil Lada putih No 1. lada hitam No 2; Penghasil Puli dari buah Pala No 1; Penghasil Karet Alam No 2,Karet Sintetik No 4; Penghasil Kayu Lapis No 1; Penghasil ikan no 6; Penghasil Timah No 2; Penghasil Batu Bara No 9; Penghasil Tembaga No 3; Penghasil Minyak Bumi No 11; Penghasil Natural Gas No 6, LNG No 1; Penghasil Emas no 8 dan bahan tambang lainnya. (http://km.itb.ac.id, Arah Teknologi Kita, 26/06/2006).
Kekayaan alam itu, mestinya menjadi satu kebanggaan bagi bangsa yang berpenduduk 200 juta ini. Namun realitas ini seolah menjadi fatamorgana, ketika bangsa Indonesia hanya bisa “melongo” saat menyaksikan PT.Freeport sejak era Soeharto mengeruk kekayaan Indonesia di Papua. Menurut catatan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sejak 1991 hingga tahun 2002, PT Freeport memproduksi total 6.6 juta ton tembaga, 706 ton emas, dan 1.3 juta ton perak. Dari sumber data yang sama, produksi emas, tembaga, dan perak Freeport selama 11 tahun setara dengan 8 milyar US$. Sementara perhitungan kasar produksi tembaga dan emas pada tahun 2004 dari lubang Grasberg setara dengan 1.5 milyar US$ (www.walhi.or.id. 06/04/04). Kita juga melihat spesialisasi bangsa Indonesia sebagai salah satu “sarang tikus” dunia, negeri ini selama bertahun-tahun menjadi Negara terkorup no.1 di Asia, walaupun data terbaru menunjukkan Indonesia berhasil meraih “prestasi” yang lumayan, data Political and Economic Risk Consultancy (PERC), melansir hasil survei mereka terhadap 13 negara di Asia, Selasa (13/3). Posisi Indonesia digeser oleh Filipina yang tahun ini memperoleh nilai 9,40 jauh lebih buruk dibanding tahun lalu (7,80 poin). Sementara poin Indonesia berkurang dari 8,16 poin (terburuk tahun 2006) menjadi 8,03 poin. (http://tribun-timur.com, RI Tak Lagi Negara Terkorup. 14-03-2007).
Berbagai usaha telah dilakukan oleh sejumlah elemen bangsa (termasuk pemerintah) untuk membangkitkan Indonesia dari keterpurukannya. Namun, nampaknya usaha itu seolah menjadi angin lalu yang belum atau bahkan sulit untuk mewujudkan impian seluruh masyarakat Indonesia, khususnya ummat Muslim. Lalu mengapa hal itu bisa terjadi?
Akar Masalah
1) Problem Kepemilikan
Sistem Ekonomi Indonesia yang bercorak kapitalistik sudah mulai terasa sejak rezim Soeharto berkuasa. Pada saat itu, sejarah memang mencatat, bagaimana pertumbuhan ekonomi begitu pesat. Para analis pada saat itu mengakui Indonesia sebagai ekonomi industri dan pasar utama yang berkembang. Selama lebih dari 30 tahun pemerintahan Orde Baru, ekonomi Indonesia tumbuh dari GDP per kapita $70 menjadi lebih dari $1.000 pada 1996. Melalui kebijakan moneter dan keuangan yang ketat, inflasi ditahan sekitar 5–10%, rupiah stabil dan pemerintah menerapkan sistem anggaran berimbang (www.wikipedia.org). Namun, pertumbuhan yang ditopang oleh utang luar negeri ini pada akhirnya mencapai bubble economic pada tahun 1998.
Semenjak corak perekonomian berubah arah menuju Kapitalistik, bahkan belakangan menjadi lebih liberal, sedikit demi sedikit berbagai asset negara dijual kepada asing dengan alasan memperbaiki kinerja dan penyelamatan APBN. Hal ini sangat nampak terutama saat Presiden Megawati memimpin negeri ini. Padahal, sudah jelas dalam UUD pasal 33 dijelaskan bahwa seluruh asset yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara dan digunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sebagai contoh, PT Freeport yang sudah mengangkangi tambang emas terbesar di dunia ini, telah bercokol di Indonesia sudah lebih dari setengah abad. Pemasukan yang diperoleh Freeport McMoran dari PT Freeport Indonesia, dan PT. Indocopper Investama (keduanya merupakan perusahaan yang beroperasi di Pegunungan Tengah Papua) mencapai 380 juta dollar (hampir 3.8 trilyun) lebih untuk tahun 2004 saja. (www.walhi.or.id) Selama 3 tahun hingga tahun 2004, total pengasihan PT. Freeport kepada Republik Indonesia hanya kurang lebih dari 10-13 % pendapatan bersih di luar pajak atau paling banyak sebesar 46 juta dollar (460 milyar rupiah) (idem). Belum lagi penguasaan blok cepu oleh Exxon Mobile, di mana Indonesia benar-benar dipermalukan dengan prosentase keuntungan untuk negeri ini sebesar 0% !
Padahal, berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Lingkaran Survey Indonesia, Masyarakat Indonesia sebagian besar tidak setuju (69.7%) munculnya perusahaan asing yang mengelola kekeyaaan alam Indonesia. Hanya 9.7% yang setuju / sangat setuju. Alasan ketidaksetujuan, sebagian besar (32.2%) karena kekayaan alam itu berada di Indoensia sudah selayaknya kekayaan alam itu dikelola oleh perusahaan asal Indonesia.( www.lsi.co.id. 11/08/2006)
Bila saja seluruh asset ini benar-benar dikelola oleh negara, maka Insya Allah, biaya pendidikan mulai dari TK hingga Perguruan Tinggi sangat mungkin menjadi gratis, paling tidak murah.
Hal ini tentu terjadi, karena kesalahan dalam menempatkan kepemilikan.
2) Problem Distribusi kekayaan
Dalam sebuah artikel khusus harian Republika dilaporkan bahwa omset tahun 1993 dari 14 konglomerat Indonesia terbesar yang tergabung dalam grup Praselya Mulya, diantaranya Om Liem (Salim Group), Ciputra (Ciputra Group), Mochtar Riady (Lippo Group), Suhargo Gondokusumo (Dharmala Group), Eka Tjipta (Sinar Mas Group) mencapai 47,2 trilyun rupiah atau 83 % APBN Indonesia tahun itu (Purnawanjati,Siddiq. Membangun Ekonomi Alternatif Pasca Kapitalisme). Ini menandakan, bahwa lebih dari 80 % perputaran uang di Indonesia, hanya berkutat pada segelintir orang saja. Sementara sisanya, terbagi ke seluruh wilayah di Indonesia dengan penduduknya sejumlah 200 juta jiwa. Maka wajar apabila kemiskinan semakin merajalela, memperbesar jurang antara si kaya dan si miskin.
3) Sistem Uang Kertas
Salah satu penyebab utama jatuhnya perekonomian Indonesia pada tahun 1997/1998 adalah, meningkatnya nilai tukar dollar terhadap rupiah yang pada saat itu menembus angka Rp.8000 per Dollar. Akibatnya, impian Indonesia untuk menjadi Negara Industri Baru (NIB) pupus sudah. Indonesia bukan lagi menjadi negara miskin tetapi super miskin di bawah India dan setara dengan Kamboja, Kenya atau Bangladesh yang mempunyai pendapatan per kapita dibawah 300 dolar (Purnawanjati, Siddiq. Membangun Ekonomi Alternatif Pasca Kapitalisme). Belum lagi dampak dari sistem uang yang fluktuatif ini yang akan menyebabkan inflasi, sehingga harga-harga melambung tinggi terutama untuk barang kebutuhan pokok, sebagaimana yang pernah melanda Indonesia pada tahun 1997/1998.
Khatimah
Dunia telah mengakui keunggulan Ekonomi Islam yang lahir 14 abad yang lalu. Sudah tidak ada alasan lagi untuk tidak menerapkan Sistem Ekonomi Islam di Indonesia ini, bahkan di dunia sebagai sistem ekonomi alternatif yang mampu menjawab semua problem ekonomi dunia. Sosialisme telah runtuh, tak mungkin bangkit kembali. Kapitalisme-Sekuler telah nyata kebobrokannya, tinggal menunggu waktu kapan ia akan hancur. Setelah dua ideologi di tersebut, tidak ada alternatif lain untuk menjawab persoalan negeri ini, selain Islam.
Wallahualam bi showab.
Daftar Pustaka
www.walhi.or.id, Hutan Indonesia Menjelang Kepunahan, 14 April 2004
www.km.itb.ac.id, Arah Teknologi Kita, 26/06/2006
http://tribun-timur.com, RI Tak Lagi Negara Terkorup. 14-03-2007
http://id.wikipedia.org/wiki/Ekonomi_Indonesia
www.lsi.co.id. 11/08/2006
Purnawanjati,Siddiq. Membangun Ekonomi Alternatif Pasca Kapitalisme.
Husain Abdullah, Muhammad, 2002, Studi dasar-dasar Pemikiran Islam, Pustaka Thoriqul Izzah, Bogor, Cet I.

Thursday, March 15, 2007

Ibliskah ini...?



Orang yang moto setengah percaya setengah enggak kalo ini adalah kepalanya iblis..

menurut saya sih, ini matahari...hehehehe...

Agar Bebas Berbuat Maksiat


Pada suatu ada seorang pemuda yang menemui Ibrahim bin Adham r.a. dan berkata, “Ya Aba Ishak! Saya ini suka melakukan dosa. Tolong dong, ada tips nggak biar saya bisa nggak maksiat lagi.”

Mendengar hal ini, Ibrahim bin Adham r.a. pun berkata, “Jika bisa memenuhi lima syarat berikut ini, kamu bebas untuk melakukan perbuatan maksiat.”
“Apa saja syarat-syarat itu, ya Aba Ishak?” Lelaki itu tak sabar mendengar berita gembira itu.”
“Syarat pertama,” Ujar Aba Ishak, “jika kamu ingin bermaksiat pada Allah, jangan mengkonsumsi rezeki-Nya.”
Lelaki itu bingung dan berkata, “Lha, terus saya mau makan apa? Kan semua ini adalah rezeki dari Allah.”
“Kalau begitu, apa pantas kamu makan rezeki-Nya sedang kamu melanggar perintah-Nya?”
“Oke deh, syarat keduanya apa?”
“Kalau kamu mau bermaksiat, jangan tinggal di bumi-Nya.”
“Hah? Waduh. Terus aku mau tinggal di mana? Bumi dan seisinya ini kan milik Allah.”
“Ya Abdallah, mikir dong, apa kamu pantes makan rezki Allah dan nge-kos di bumi-Nya sedangkan kamu bermaksiat pada Allah.”
“Ya... iya deh. Terus syarat ketiganya apaan?”
“Kalau kamu mau bermaksiat kepada Allah, tapi juga ingin memakan rezki-Nya dan tinggal di tempat-Nya, bermaksiat-Nya di tempat yang nggak diliat-Nya aja.”
“Ya Ibrahim. Ini nasehat macam apa? Mana mungkin saya ngumpet di tempat yang tidak dilihat-Nya.”
“Nyerah deh. Syarat keempatnya apa?”
“Kalau malaikat maut datang menjemput kamu, bilangin ke dia, “nanti aja matinya. Saya masih mau tobat dan beramal saleh dulu.””
“Ya Ibrahim, mana mungkin malaikat mau nurut omongan saya.”
“Lha, kalo kamu sadar bahwa kematian nggak bisa ditunda, terus jalan apa yang bisa membuat kamu keluar dari murka Allah?”
“Ya sudah, sekarang syarat kelimanya.”
”Nanti di akherat, kalau malaikat Zabaniyah datang untuk membawa kamu ke neraka, jangan ikut sama dia.”
“Ya Aba Ishak. Mana mungkin malaikat Zabaniyah menerima keberatan saya.”
“Kalau begitu, gimana lagi supaya kamu bisa selamat dari murka Allah?”
Lelaki itu kemudian menangis. “Ya Ibrahim, cukup ... jangan kau teruskan lagi. Saya akan bertaubat nasuha kepada Allah.”
Lelaki itu menepati janji. Semenjak itu ia bertaubat dan menjalankan perintah Allah.

sumber : muslimmuda.com

Thursday, March 8, 2007

seandainya ada cukup tenaga untuk sekedar tersenyum...


Byur! , ombak menampar muka yang membuat badan, pakaian, dan bagian dalam perahu basah. Angin yang menyebabkan gelombang laut tinggi amat tak ramah. Perahupun oling dengan laju yang lambat. Cemas dan takut tak mampu ditepis. Rasanya tamat sudah hidup saat itu.

Namun tidak demikian dengan Zaenudin (45). Seorang nelayan Pulau Tunda yang menemani penyeberangan tiga jam menegangkan dari Pulau Tunda menuju Pelabuhan Karangantu, Serang, Minggu (14/1) lalu. Ia tampak tenang. Matanya tajam mengawasi pergerakan ombak setinggi hampir dua meter yang membabibuta.

Bagi nelayan yang pernah punya pengalaman pahit dirompak bajak laut ini, ombak sedahsyat itu belum mencemaskan. Ia punya banyak pengalaman dramatis di tengah laut yang nyaris merenggut nyawa.

Pengalaman semacam itu bagi Bapak lima anak yang sudah 20 tahun jadi nelayan ini sekadar sisipan kisah petualangan. Urat takut dan cemas bagi Zainudin sudah putus. Tetapi ia tak dapat mengelak dari rasa cemas memikirkan dunia nyata. Terlebih saat ingat masa depan lima anaknya, kecemasan itu terus bergayut.

Berpuluh tahun menjadi nelayan, Zainudin tak juga jadi saudagar atau pemilik kapal. Kemampuannya tetap nguli yang hanya ikut menjalankan perahu orang. Cita-citanya untuk punya sekadar perahu tempel tak jua terwujud. Dari luasnya petualangan mejelajahi laut lepas, yang belum dimiliki tinggal perahu milik sendiri.

Dulu ia berazam agar tak ada anak-anaknya yang mengikuti jejak sengsara Zaenudin. Tetapi sejak cuaca buruk melanda Selat Banten, ekonomi Zainudin praktis mandeg. Anaknya yang liburan sekolah di rumah belum dapat balik masuk sekolah lagi di Pulau Tidung, Kepulauan Seribu. Bukan lantaran cuaca atau ombak, bagi anak nelayan ombak besar sudah biasa. Tetapi Zainudin belum punya uang untuk mengongkosi anaknya kembali ke sekolah.

“Dari kecil saya yatim, hanya tinggal dengan ibu. Kurang makan sudah rutinitas hidup. Sekolah cuma sampai kelas 3 SD, saya ingin agar anak-anak bisa sekolah tinggi. Suatu hari pulang dari sekolah saya menuju dapur Ibu, tapi nggak menemukan apa-apa. Lalu saya injak abu tungku dapur, ternyata masih dingin. Pedih hati saya saat itu, saya menunduk dan menangis. Air mata saya jatuh ke tungku dapur. Lantas saya berjanji dalam hati, jangan sampai anak cucu saya mengalami kekurangan makan seperti yang saya alami”, kenang Zainudin berkisah.

Seiring tahun, Zainudin yang rumahnya terbungkus dinding bambu rapuh berlantai tanah tak membayangkan krisis pangan akan melanda Pulau Tunda. Ia dan keluarganya salah satu yang merasakan dampak cuaca buruk itu. Sembari menemani saya mengusir cemas oleh tingginya ombak, Zainudin melanjutkan kisahnya.

“Tak terbayang pengalaman pahit saya terulang pada anak-anak saya. Sebelum ada bantuan sembako datang ke pulau, saya dan istri tak punya uang dan beras meski hanya sejimpit. Lalu saya ingat, di ladang saya menanam beberapa batang singkong. Senang sekali saya teringat singkong itu, demikian juga istri dan anak-anak. Jika ada isinya lumayan buat ganjal perut yang sudah dua hari tak ada nasi. Lalu saya ke ladang. Astaghfirullah! lemas badan saya, ternyata singkong itu sudah dicabut orang. Saya menangis untuk kedua kalinya karena makanan. Pedih, saya jadi ingat janji saya di atas tungku dapur. Rasa bersalah pada keluarga makin berat. Tetapi saya tidak marah, mungkin ada yang lebih lapar dari saya dan anak-anak”, tutur Zainudin menyesakkan.

Sejenak kami diam. Wajah Zainudin yang hitam legam mendadak sendu. Lantas ia berucap. “Jika saja saya punya perahu meski hanya kecil, mungkin pengalaman pahit waktu kecil tak akan dinikmati anak-anak. Tetapi apa daya, saya hidup tinggal menjalani suratan takdir. Saya hanya mampu pasrah dan melaut”, kata Zainudin mengakhiri kisahnya.

diambil dari liputan dompetdhuafa.org

Thursday, March 1, 2007

Islam kebetulan


Pernahkah kita bertanya pada diri kita sendiri..."Kenapa gue ada di dunia ini?"..."untuk apa gue hidup..?"...Saya meyakini, bahwa secara fithrah, manusia manapun akan mengalami hal yang sama. Muslim, Kafir, Musyrik, semua bermula dari pertanyaan itu. Tapi...jawaban apa yang akan dia keluarkan, tergantung pandangan hidup apa yang dia pake. ato Sosialis? Kapitalis? Islam? Secara sadar nggak sadar, sebenernya jawaban apapun, tidak akan jauh dari 3 ideologi dunia ini.

Namun, kebanyakan kaum Muslim, nggak sadar bahwa mereka hanya KEBETULAN dilahirkan di tengah-tengah keluarga Muslim. Coba aja tanya, "Kenapa anda Muslim...?" secara umum, memang akan menjawab "ya karena saya yakin bahwa Islam adalah agama yang paling sempurna...". Coba kita tanya orang Non muslim dengan pertanyaan yang sama. Pasti, merekapun akan ngasih jawaban yang sama, "ya karena saya yakin bahwa Nasrani adalah agama yang paling benar.." dsb-dsb. Kalo ditanya lebih dalem lagi, pasti kepentok dengan jawaban: "ya pokoknya gue Islam, titik...!" tanpa bisa menjelaskan, kenapa harus Islam?...Dan hal itu, jangan-jangan juga menghinggapi kita sebagai orang yang "Kebetulan" Islam.

Lalu, apakah lalu kita merasa "puas" dengan jawaban itu...?